Rabu, 25 Februari 2009

DOKTER VS DUKUN

“Jangan khawatir berobat ke dokter karena tidak selalu mahal. Kami bantu masalah anda. Dokter berpengalaman dengan obat-obatan berkualitas. Kunjungilah klinik X… …bla…bla…bla”…..kalimat itu tertera pada brosur yang ditempel di angkot….seumur-umur saya baru lihat ada promosi dokter dengan cara seperti ini….

Kasus Ponari seperti mengalahkan pamor dunia kedokteran……ya mungkin dunia perdukunan alias pengobatan alternatif, masih sangat populer untuk sebagian besar masyarakat kita, padahal terkadang, prosedur pengobatannya sendiri sangat irrasional bahkan ada yang sampai jatuh kepada kemusyrikan…..tapi memang ada alasan yang sangat mendasar sehingga mereka lebih PD untuk datang ke pengobatan alternatif dibandingkan kepada dokter…..BIAYA….
Jangankan untuk biaya dokter, untuk ongkos pergi ke dokter aja mungkin gak ada…….

Memang sekarang ada askeskin….tapi apakah askeskin itu sudah bisa meng-cover keseluruhan warga yang tidak mampu?...apakah ada ketebelece yang sangat birokratis, yang dapat menyebabkan warga pusing dan malas untuk mengurus askeskinnya…. Sehingga ke dukun lagi…ke dukun lagi….

Kalau memang benar iklan di klinik itu sesuai kenyataan promosinya…dokter berpengalaman…obat berkualitas…dan biaya murah…atau bahkan kalau pasiennya gak mampu gak usah bayar….sungguh hal yang sangat mulia…sungguh kontribusi yang luar biasa dari dokter untuk membantu pasien tak mampu…..
Edukasi pada masyarakat yang lebih percaya kepada dukun, mungkin dapat di tempuh melalui cara pemberian pengobatan murah atau gratis………tak terbayang, kalau masyarakat tak mampu memiliki penyakit berat, tapi dia hanya mendatangi dukun yang mengobatinya dengan cara yang tidak ilmiah….boleh jadi penyakitnya bakal tambah berat …..

Semoga rakyat Indonesia dapat merasakan kemudahan dalam berobat…apakah pemerintahan hasil pemilu 2009 dapat mewujudkannya?

[+/-] Selengkapnya...

Senin, 16 Februari 2009

RIBUT-RIBUT SOAL PUYER

Salah satu televisi swasta mengangkat berita tentang polimek puyer, maksud puyer disini adalah, obat yang diracik di apotek menjadi bentuk serbuk dan dikemas menggunakan kertas perkamen, penggunaannya ditujukan untuk anak-anak..........kenapa Puyer bisa menjadi polemik??????

Dulu, ketika saya kuliah, saya mendapatkan pelajaran tentang prinsip-prinsip pembuatan obat. Dalam dunia farmasi, suatu obat yang dibuat harus mengikuti regulasi dan guidance yang tercantum dalam Current Good Manufacturing Practices (cGMP) atau kalau dalam bahasa Indonesia disebut Cara Pembuatan Obat Yang Baik (CPOB). Salah satu tujuan CPOB sendiri adalah untuk menghasilkan obat yang bermutu secara konsisten.

Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas aspek CPOB secara detil, karena aspek dalam CPOB sangat luas. Disini saya akan membahas beberapa point yang berkaitan dengan produksi obat di industri farmasi, yang harus mengikuti regulasi dan standar yang amat ketat, dikorelasikan dengan bentuk sediaan puyer yang dibuat di apotek tanpa standar yang jelas.

Beberapa peraturan pembuatan obat diantaranya :
1.Persyaratan ruangan.
Kondisi ruangan seperti suhu, kelembaban, jumlah partikel dan jumlah mikroba di ruang produksi harus di monitor dan harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam aturan CPOB. Tekanan udara antara ruang produksi dan koridor harus didesign sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya kontaminasi silang. Ruangan tempat pembuatan obat diistilahkan sebagai “grey area”.
Kalau dibandingkan dengan proses peracikan di apotek, obat yang diracik, di treatment di ruangan yang sangat tidak terkontrol, boleh diistilahkan dibuat di “black area”.........padahal seperti yang saya sebutkan diatas, obat yang dibuat di industri farmasi, dibuat dalam ruangan yang sangat dikondisikan persyaratannya.

2.Persyaratan personel
Personel yang terlibat dalam pembuatan obat di industri farmasi adalah personel yang telah terkualifikasi dan secara rutin mendapatkan pelatihan tentang CPOB
Personel yang memasuki area produksi harus menggunakan pakaian kerja yang lengkap, diantaranya penutup kepala (sehingga tidak boleh ada rambut yang keluar), masker, sarung tangan, pakaian kerja lengan panjang, celana panjang dan sepatu kerja yang tertutup rapat. Pakaian kerja lengkap tersebut ditujukan untuk mencegah kontaminasi mikroorganisme dari manusia, karena sesungguhnya manusia bisa memberikan kontribusi terhadap keberadaan mikroorganisme.
Coba bandingkan dengan cara kerja peracikan di apotek........ pengalaman saya saat masih kuliah, ketika mengikuti PKL di suatu apotek..........Di apotek obat diracik dengan tangan terbuka tanpa sarung tangan (gak tau juga apakah si peracik mencuci tangannya terlebih dahulu atau tidak), tanpa masker tanpa tutup kepala. Padahal setiap kali manusia berbicara, maka akan keluar dari mulutnya pancaran mikroba ke udara, begitupun dengan rambut yang merupakan sumber kontaminan mikroba. Kesimpulannya, peracikan dengan cara diatas sangat tidak higienis

3.Validasi pembersihan
Setiap alat yang sudah digunakan untuk produksi obat, harus dibersihkan. Proses pembersihannya sendiri harus divalidasi, sampai residu dari air cucian terakhirnya memenuhi syarat batas residu.
Kalau meracik obat di apotek, rasanya saya belum pernah mendengar adanya validasi pembersihan. Sehingga boleh jadi jika dibersihkannya tidak baik atau bahkan tidak dibersihkan, maka residu dari obat racikan sebelumnya dapat mengkontaminasi obat racikan berikutnya. Jika ada pasien yang alergi terhadap obat tertentu, boleh jadi pasien akan terkena reaksi alergi

4.Uji stabilitas
Sebelum suatu obat dibuat dalam skala produksi, bagian RND akan melakukan penelitian terlebih dahulu. Penelitian secara literatur dilakukan untuk memperoleh data sifat-sifat fisik, kimia dan stabilitas dari suatu zat. Jika zat aktif tidak stabil terhadap pengaruh suhu, udara, kelembaban, cahaya.......... maka bagian RND akan memformulasi obat tersebut agar bisa tahan terhadap pengaruh lingkungan, misalnya dengan melakukan proses penyalutan terhadap obat, dan merancang bentuk kemasan yang paling baik, apakah akan menggunakan strip, blister atau botol. Semua tergantung dari hasil penelitian RND
Pada proses peracikan, saya pernah melihat adanya obat-obat yang disalut justru digerus, sehingga bahan penyalutnya menjadi hancur. Kalau fungsi penyalutan hanya untuk estetika saja agar obat terlihat bagus dan mengkilat, maka proses penggerusan boleh jadi tidak akan bermasah. Lain soal, jika penyalutan berfungsi untuk menjaga stabilitas dari zat aktif....... jika zat aktif terpapar oksigen di udara maka obat akan rusak karena zat aktifnya teroksidasi.......... jika zat aktif kena lembab, maka bisa terjadi hidrolisis sehingga menurunkan potensi dari zat aktif itu sendiri....... jika kena cahaya matahari, obat akan berubah warna.

5.Penandaan di kemasan obat
Badan POM telah mengeluarkan peraturan, setiap kemasan obat harus mencantumkan informasi penandaan sampai pada kemasan terkecil (artinya kemasan yang kontak langsung dengan produk). Yang dimaksud informasi penandaan adalah informasi nama zat aktif yang dikandung didalamnya, informasi tanggal produksi, tanggal daluarsa, no.batch dan HET (Harga Eceran Tertinggi). Informasi tersebut sangat bermanfa’at bagi konsumen, karena konsumen berhak mendapatkan informasi sebanyak-banyaknya terhadap obat yang akan dikonsumsi....coba anda bandingkan dengan obat puyer, tak ada secuil informasi pun dikemasan kertasnya. Kadang-kadang pasien tidak tahu isinya apa.......

6.Rasionalitas resep
Terkadang obat yang diracik merupakan 3 atau lebih campuran zat aktif, padahal makin banyak campuran zat aktif maka resiko terjadinya interaksi antara zat aktif bisa lebih tinggi. Boleh jadi timbul interaksi yang merugikan antar zat aktif tersebut, yang dapat mereduksi atau menghilangkan khasiat obat itu sendiri.
Setiap obat memiliki efek samping, maka jika yang diracik terdiri dari 7 zat aktif, maka akan ada potensi efek samping dari ke-7 zat aktif tersebut.

Maka untuk melindungi pasien, perlu peraturan yang tegas dari pemerintah mengenai hal ini......

[+/-] Selengkapnya...

Minggu, 01 Februari 2009

RACUN DALAM KENTANG

Kentang adalah jenis umbi-umbian yang banyak digemari, tapi hati-hati loh, karena kentang juga mengandung racun alami. Racun alami yang dikandung oleh kentang termasuk dalam golongan glikoalkaloid. Ada dua macam racun utama pada kentang, yaitu solanin dan chaconine.

Kentang yang berwarna hijau, bertunas, dan secara fisik telah rusak atau membusuk dapat mengandung kadar glikoalkaloid yang tinggi. Racun tersebut terutama terdapat pada daerah yang berwarna hijau, kulit, atau daerah di bawah kulit. Kadar glikoalkaloid yang tinggi dapat menimbulkan rasa pahit dan gejala keracunan berupa rasa seperti terbakar di mulut, sakit perut, mual, dan muntah.
Untuk mencegah terjadinya keracunan, sebaiknya kentang dikupas kulitnya dan dimasak sebelum dikonsumsi.

Penyimpanan kentang harus diperhatikan, sebaiknya kentang disimpan di tempat yang sejuk, gelap, kering, dan dihindarkan dari paparan sinar matahari atau sinar lampu, karena jika kentang terpapar sinar (baik sinar matahari atau lampu) dalam waktu yang lama, maka jumlah sonalin yang dibentuk pada kulit kentang akan meningkat sehingga resiko keracunan pun akan meningkat.

Referensi: www.pom.go.id


[+/-] Selengkapnya...